Susanne
3 min readJan 8, 2023

“Jumpa Pada Stasiun Kota Lama”

"Kamu besok pulang? Naik kereta apa? Keberangkatan pukul berapa? Aku tunggu, hati-hati!"

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Untuk yang terkasih tak diminta berbalas, Juanda.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Selamat malam, ini malam ke berapa aku tanpa kamu ya? Malam ke-186 ya? Tapi, kota Malang tak berubah pesat, masih saja musimya tak menentu kala waktu itu aku bercerita. Dipagi hari sang fajar mengguyur sinar kemuningnya dengan semerbak eurofia hangat yang menyelubungi setiap sudut kota, bertahta diatas singgasana hingga tengah hari. Lalu, ibu awan datang bersamaan membawa anak rintik hujan, mengguyur tanah hijau kami. Hingga di akhir waktu pukul lima, senja tak lagi jingga tapi kelabu bersemu nila dengan gradasi kepulangan langit siang menuju petang. Indah, bukan?

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Aku masih melakukan semuanya secara berirama, membuka jendela setiap pagi, bersiap berangkat ke fakultas, dan menyapa semilir angin malam saat aku baru saja menyelesaikan pekerjaan. Saat itu juga, seakan diajak bernostalgia seraya melaju ke masa lalu.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Masih banyak cerita dan pertanyaan yang belum sempat aku tanyakan atau diskusikan bersamamu seperti ... Kalau diminta untuk jujur kamu akan mengucapkan apa? Kalau dipinta merubah harapan juga mau seperti apa?

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Mulai darimana ya aku mau bercerita? Dua tanya mengubah segala arah pandangku pada dunia. Darisini saja ...

Sore itu, aku menyusuri jalanan kota dengan mencari angin. Entah gerakan darimana aku memilih berhenti tepat di depan stasiun kota lama, bergerak hatiku berdistraksi dengan logika. Kalau boleh jujur, aku rindu perangaimu saat datang juga pergi pada gerbong kereta disana, meminta ditemani sebelum berkelana kesana kemari, menceritakan sisa petualanganmu dengan gembiranya, lalu akan ada waktu kamu berpamitan kembali. Terus seperti itu, aku juga berharap datang dan perginya kereta dengan ribuan penumpang itu, ada figurmu disana sedang membentangkan tangan menungguku berlari kencang untuk dipeluk.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Rindu, bukan, ini bukan sekedar rindu pada kekasih tapi telah bertransformasi menjadi peta tak berisi yang terus kujelajahi untuk mendapatkan harta karun. Kamu sudah seperti menyatu dengan peron-peron kereta disana, membawa kisah kita kedalam kamera yang kau bawa kemana saja. Aku juga sering berharap, dulu, kamu akan mengajakku, walau sekali saja. Tapi, sampai akhir kisahnya pun kamu enggan mengajakku ya?

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Peron-peron kereta dan stasiun itulah yang menuntunku pada kerinduan, membawakanku ketenangan, membukakan pintu kepulangan, menjalankan kenangan yang sempat tertunda. Hingga, aku melewatkan sebuah kemungkinan bahwa kepergian belum tentu akan ada kedatangan.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Kemungkinan aku terus menanti harapan.

Kemungkinan aku menunggu jawaban dan kejujuran semesta saat aku dalam kesusahan menunggumu.
Kemungkinan aku meminta kembali janji kepulanganmu.
Dan, kemungkinan lainnya bahwa aku harus mengikhlaskan ...

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Gerbong itu terasa kosong, karena tak akan ada seorang Laksamana Juanda.
Stasiun itu asing karena tak ada lagi puing-puing rindu menggebu saat pintu terbuka.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Peron itu tak akan bermakna lagi, semua isinya kamu bawa pergi.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Tapi, kamu lupa membawaku. Juanda lupa bahwa salah satu ceritanya tertinggal.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Mungkin ini yang kamu maksud, mendatangkan kepergian mungkin bisa mengenalkan kita pada keikhlasan dan menjemput kepulangan akan mengajarkan kita cara menghargai kerinduan. Sedalam itu maknanya ya?

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Juan, aku tau sekarang mengapa pada stasiun, bandara, atau dermaga terdapat suka maupun duka. Karena disana ada datang dan pergi, bahagia jua berseri, lapang dada jua sedih.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Surat ini kutaruh di bangku kereta, biarkan ia berkelana seperti sang pemiliknya yang kini entah kemana. Aku berharap, ia akan bermuara pada tempat yang indah. Karena, selain surat, aku menitipkan kerinduan dan keikhlasanku atas kepergianmu waktu itu. Menaruh harap yang tak mungkin untuk digapai, agar ikut pergi dengan sendirinya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Aku bukan menyerah, aku hanya mengikhlaskan. Aku juga punya kata-kata ini untuk diriku, "Selamat merayakan rasa kehilangan dan merelakan perpisahan."

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

  • Karena, semua perasaan memiliki destinasi kepulangannya sendiri. Sekian, dari sang nona yang bisa kamu tebak sendiri siapa.ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Potret terakhir dari Juanda untuk Kumara.
Unlisted
Susanne

"Semaralakshmi bertengger bak kukila, tuk pilarnalar sang paramosadha." T'lah dilantukan oleh panakira sebagai manifestasi lara dan mala dalam bentuk nyata.